Hampir semua bahan bakar tersusun
atas molekul-molekul hidrokarbon dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Kayu
misalnya, merupakan campuran berbagai macam molekul hidrokarbon organik seperti
selulosa ((C6H10O5)x), hemi-selulosa
(xylose, mannose, galactose,
rhamnose, dan arabinose), serta lignin (C9H10O2, C10H12O3, C11H14O4). Hingga bahan bakar tambang semacam batu bara
misalnya, yang kita ketahui terbentuk dari batang kayu jaman prasejarah,
tersusun atas molekul hidrokarbon turunan dari molekul-molekul selulosa
tumbuhan, yang akibat dari berbagai proses alami pelebaran rantai karbon hingga
terbentuk molekul lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15) atau anthracite (C94H3O3). Selain bahan
bakar berbasis hidrokarbon, bahan bakar non-hidrokarbon yang sangat lazim kita
gunakan adalah hidrogen dengan rumus kimia H2.
Ikatan antar atom hidrokarbon
ataupun non-hidrokarbon dari bahan-bahan bakar tersebut menyimpan energi.
Energi dalam ikatan antar atom inilah yang biasa kita sebut sebagai energi
kimia. Jika ikatan antar atom tersebut terlepas atau putus, energi yang
tersimpan di dalamnya akan terlepas juga dalam bentuk panas. Jumlah energi
panas yang terlepas untuk tiap satu satuan massa bahan bakar inilah yang biasa
kita kenal sebagai nilai kalor,
atau biasa dikenal dalam dunia engineer sebagai heating value. Selain melepas energi panas,
terputusnya ikatan antar atom tersebut diikuti pula dengan reaksi oksidasi,
yang ditandai dengan terikatnya atom oksigen dengan masing-masing atom karbon
dan hidrogen membentuk karbon dioksida (CO2) maupun air (H2O).
Dikenal
ada dua jenis heating value yang umum digunakan secara luas, yakni higher heating value (HHV)
serta lower heating value (LHV). Keduanya memiliki acuan dan
metode perhitungan yang sedikit berbeda. Satu hal yang menjadi acuan di sini
adalah adanya kandungan air yang dapat dipastikan akan selalu hadir pada setiap
reaksi pembakaran hidrokarbon. setiap reaksi pembakaran hidrokarbon pasti akan
diikuti oleh adanya pembentukan karbon dioksida dan air. Sedangkan panas yang
dihasilkan pada proses pembakaran tersebut ada sebagian kecil yang diserap oleh
air sehingga ia berubah fase menjadi uap, dan sejumlah energi tersimpan sebagai
panas laten. Pada sebagian proses pembakaran yang terjadi ada kemungkinan
dimana uap air tersebut terkondensasi sehingga energi panas laten di dalam uap
air tersebut terlepas kembali ke sistem pembakaran. Heating value yang
memperhitungkan terlepasnya kembali panas laten uap air tersebut, biasa kita
kenal sebagai Higher Heating Value. Sedangkan Lower Heating Value tidak memasukkan energi panas laten
yang dilepaskan oleh terkondensasinya uap air tersebut ke dalam nilai heating value. Dengan kata lain, HHV mengasumsikan
bahwa uap air hasil proses pembakaran akan terkondensasi dan melepaskan panas
latennya di akhir proses, sedangkan LHV mengasumsikan bahwa uap air akan tetap
sebagai uap air hingga akhir proses pembakaran.
Nilai HHV dan LHV akan memiliki
selisih nilai. Selisih tersebut bergantung pada komposisi kimia dari bahan
bakar. Pada karbon ataupun karbon monoksida murni nilai HHV dan LHV memiliki
nilai yang hampir sama persis. Hal ini disebabkan karena karbon dan karbon
monoksida murni tidak mengandung atom hidrogen pada molekulnya, sehingga
-secara teoritis- tidak akan terbentuk molekul air di akhir proses pembakaran.
Sebaliknya pada bahan bakar hidrogen, yang pasti akan terbentuk molekul air di
akhir proses pembakarannya, nilai HHV hidrogen lebih besar 18,2% dari nilai
LHV-nya. Nilai HHV tersebut termasuk juga mengukur panas sensibel uap air pada
temperatur 150°C hingga 100°C, panas laten air pada temperatur 100°C, serta
panas sensibel air dari temperatur 100°C hingga 25°C.
Teori
dasar yang perlu diingat kembali yaitu fase perubahan zat cair menjadi gas,
secara garis besar sifat yang dimiliki fluida (air khususnya) mempunyai sifat
alami yaitu semakin tinggi suhu/temperature nya maka berbanding lurus dengan
tekanan yang dihasilkannya. Selain itu Air mendidih pada temperatur 100º
Celcius jika dalam kondisi tekanan atmosfer (1013,25 milibar absolut). Apabila
air dipanaskan di bawah kondisi tekanan yang lebih tinggi maka titik didihnya
juga akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, pada tekanan yang lebih rendah air
akan mendidih pada temperatur yang lebih rendah. Sifat alami inilah yang menjadi dasar ilmuan untuk mengembangkan
pemanfaatan air sebagai media pengubah energi kimia menjadi energi kinetik. Berikut
penjelasan lebih lanjut untuk perubahan fase steam.
Untuk
menciptakan uap air kering dengan temperatur tinggi, panas harus terus
diberikan ke air melewati tiga fase: fase cair, fase campuran cair dengan uap
dan fase uap. Berbagai sifat fisik maupun kimia dari suatu material akan
berubah sesuai dengan perubahan temperaturnya. Hal ini tidak terkecuali dengan
air, air mengalami berbagai perubahan karakteristik yang bahkan lebih besar
perubahannya dibandingkan dengan material-material lain. Berbagai sifat anomali
air adalah disebabkan oleh kuatnya ikatan antar atom hidrogen air. Pada kondisi
temperatur superheater ikatan-ikatan hidrogen tersebut akan
putus dan memberikan perubahan signifikan atas sifat-sifat kimia air. Berikut
adalah perubahan-perubahan sifat fisika maupun kimia air pada kondisi liquid superheated:
·
Viskositas atau
derajat kekentalan setiap fluida termasuk air akan selalu turun nilainya
seiring dengan kenaikan temperatur. Hal ini disebabkan karena jika temperatur
naik, setiap molekul fluida akan bergerak lebih cepat, sehingga interaksi antar
molekul fluida tersebut akan lebih pendek waktunya. Jika interaksi antar
molekul terjadi secara cepat, tegangan antar molekul pun akan lebih rendah. Dan
jika tegangan antar molekul rendah, nilai viskositas fluida juga akan turun.
·
Difusifitas adalah
sebuah satuan yang menunjukan ukuran kemampuan molekul-molekul ataupun energi
pada sebuah meterial untuk berpindah secara difusi, yang ditunjukkan dengan
konduktifitas termal dibagi dengan kapasitas termal spesifik dan massa jenis.
Difusifitas air dan juga material lain sangat dipengaruhi oleh temperatur,
dimana semakin tinggi temperatur sebuah material maka akan semakin tinggi pula
nilai difusifitasnya.
·
Kapasitas Kalor Spesifik adalah
jumlah energi panas yang dibutuhkan sebuah benda untuk merubah temperaturnya.
Kapasitas kalor spesifik adalah kapasitas kalor per satu satuan massa.
Kapasitas kalor air berubah seiring dengan perubahan temperatur yang terjadi.
Pada tekanan konstan, kapasitas kalor spesifik air naik apabila temperatur air
naik.
·
Ionisasi Air pada kondisi superheated, air
semakin mudah untuk mengalami ionisasi sendiri (self ionization). Pada temperatur
tinggi ini air akan dengan mudah terionisasi membentuk H3O+ dan OH–. Terbentuknya
dua ion tersebut ditandai dengan turunnya nilai pH air sekalipun sifat air yang
masih netral karena jumlah yang sama antara ion positif dengan negatif.
·
Solubility Air yang berada
dalam kondisi superheater akan memudahkan senyawa-senyawa
organik maupun anorganik untuk larut ke air. Hal ini disebabkan karena temperatur
air yang sangat tinggi akan membuat senyawa-senyawa tersebut menjadi bersifat
polar, sehingga akan menjadi mudah larut ke air. Bahkan senyawa-senyawa organik
yang sifatnya tidak mudah larut akan menjadi mudah larut jika bertemu dengan
air superheater.
·
Korosifitas Air superheater yang terionisasi pada temperatur tinggi akan
menghasilkan ion OH– yang bersifat korosif. Apalagi jika
kandungan oksigen terlarut di dalam air berada dalam jumlah yang besar, maka
air tersebut akan semakin bersifat korosif. Sifat korosif air superheater tidak
selalu berdampak negatif pada boiler misalnya, jika kondisi air dikontrol
dengan baik maka terbentuknya lapisan magnetit sebagai hasil oksidasi air
terhadap logam pipa boiler, pada permukaan kontak pipa boiler dengan air justru
akan berfungsi untuk mencegah korosi yang lebih parah.
·
Kebutuhan Energi Energi yang dibutuhkan untuk membentuk air superheater lebih
rendah dari pada membentuk uap air. Sebagai ilustrasi mari kita perhatikan
tabel properti uap air atau bisa juga menggunakan table steam. Untuk membentuk
uap air dari air bertemperatur 25oC ke uap air 250oC pada 1atm membutuhkan 2869 kJ/kg. Sedangkan untuk
membentuk air superheater bertemperatur 250oC dari air bertemperatur 25oC dan tekanan 50 bar hanya membutuhkan energi panas
sebesar 976 kJ/kg.
Nilai energi panas di tiap-tiap
nilai tekanan dan temperatur sudah dibuat oleh para ahli dan telah disusun
menjadi tabel uap air (steam tables). Dengan menggunakan steam table ini kita
dapat menentukan entalpi spesifik (jumlah energi panas yang dimiliki oleh uap
air pada tiap kilogram nya), entropi spesifik (bilangan abstrak yang
menunjukkan peningkatan atau penurunan dari panas yang diberikan atau ditolak
pada suatu benda), dan volume spesifiknya. Berikut contoh table steam (Tabel
lengkap pada lampiran)
Apabila kita memberikan energi
panas ke air, maka hal ini disebut “entalpi spesifik dari saturasi cair (the
spesific enthalpy of the saturated liquid)”, yang kita lebih mengenalnya dengan
istilah panas sensibel. Jika kita terus menambahkan panas, temperatur akan
terus naik (pada tekanan tertentu), dan apabila diteruskan temperatur akan
berhenti naik dan air akan mulai menguap. Nilai entalpi pada titik ini
ditunjukkan di steam table dengan simbol “hf”.
Jika panas terus ditambahkan, air
akan terus menguap, sampai semua air berubah fase menjadi uap air. Nilai energi
panas pada proses ini dinamakan “kenaikan entalpi pada proses evaporasi (the
increment of enthalpy for evaporation)”, kita mengenalnya dengan istilah panas
laten. Nilai dari entalpi ini ditunjukkan dengan simbol “hfg” pada steam table. Pada titik ini berarti kita telah memberikan
energi panas melalui dua fase, nilainya dinamakan “entalpi spesifik pada uap
saturasi (the spesific enthalpy of the saturated vapour)” dan ditunjukkan pada
steam table dengan simbol “hg”. Maka
hf + hfg = hg dalam satuan kJ/kg.
Kita dapat memanaskan uap air ini
lebih lanjut, Proses ini dinamakan superheat dan nilai panasnya dinamakan
“kenaikan entalpi pada superheat (the increment of enthalpy for superheat)”.
Pada uap air superheat di titik manapun proses, entalpi spesifiknya sama dengan
kenaikan entalpi pada saturated liquid ditambah kenaikan entalpi pada proses
evaporasi dan kenaikan entalpi uap superheat pada titik tersebut. Entalpi total
dari titik superheat ini ada di steam table. Lebih lanjut Diagram
temperatur-entropi (T-S Diagram) digunakan untuk lebih mudah memahami proses
titik mendidihnya air dan titik saturasi keringnya. Entropi merupakan sebuah
properti yang sulit untuk dijelaskan. Uap air yang memiliki energi rendah
berarti memiliki entropi yang rendah pula. Jika temperatur absolut pada saat
panas diberikan, dikalikan dengan perubahan entropi, maka hasilnya adalah sama
dengan jumlah energi panas yang ditambahkan selama proses. Sebaliknya, jika
temperatur absolut pada saat panas ditolak, dikalikan dengan perubahan entropi
antara awal proses dengan akhir proses, hasilnya sama dengan jumlah energi yang
ditolak.
Bentuk dari kurva air
menguap/saturasi kering saat pressure yang disertakan lebih tinggi, maka
entalpi yang dibutuhkan untuk evaporasi lebih rendah. Saat kita memberikan
energi panas selama proses evaporasi, uap air basah akan bertahap mengering
sampai ia mencapai titik saturasinya. Hal ini berarti ia mencapai 100% kering. Jika
kita menaikkan tekanan air, kita akan menaikkan temperatur didih airnya, dan
pada diagram T-S akan menaikkan garis proses lebih tinggi. Dengan melakukan hal
ini, berarti kita lebih memendekkan garis evaporasi sampai kita mencapai titik
sekitar 221,2 bar abs dimana garis air mendidih bertemu dengan garis saturasi
kering dan dan tidak ada fase evaporasi lagi sama sekali. Inilah yang dinamakan
critical point. Temperaturnya pada 374,15ºC, dan critical volumenya 3,17
dm3/kg. Pada pressure lebih tinggi dari 221,2 bar abs dinamakan supercritical.
Grafik entropy (T-S)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar