Senin, 05 September 2016

Termodinamika (Fase Air - Uap) Pembangkit Listrik Tenaga Uap

Hampir semua bahan bakar tersusun atas molekul-molekul hidrokarbon dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Kayu misalnya, merupakan campuran berbagai macam molekul hidrokarbon organik seperti selulosa ((C6H10O5)x), hemi-selulosa (xylose, mannose, galactose, rhamnose, dan arabinose), serta lignin (C9H10O2, C10H12O3, C11H14O4). Hingga bahan bakar tambang semacam batu bara misalnya, yang kita ketahui terbentuk dari batang kayu jaman prasejarah, tersusun atas molekul hidrokarbon turunan dari molekul-molekul selulosa tumbuhan, yang akibat dari berbagai proses alami pelebaran rantai karbon hingga terbentuk molekul lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15) atau anthracite (C94H3O3). Selain bahan bakar berbasis hidrokarbon, bahan bakar non-hidrokarbon yang sangat lazim kita gunakan adalah hidrogen dengan rumus kimia H2.
Ikatan antar atom hidrokarbon ataupun non-hidrokarbon dari bahan-bahan bakar tersebut menyimpan energi. Energi dalam ikatan antar atom inilah yang biasa kita sebut sebagai energi kimia. Jika ikatan antar atom tersebut terlepas atau putus, energi yang tersimpan di dalamnya akan terlepas juga dalam bentuk panas. Jumlah energi panas yang terlepas untuk tiap satu satuan massa bahan bakar inilah yang biasa kita kenal sebagai nilai kalor, atau biasa dikenal dalam dunia engineer sebagai heating value. Selain melepas energi panas, terputusnya ikatan antar atom tersebut diikuti pula dengan reaksi oksidasi, yang ditandai dengan terikatnya atom oksigen dengan masing-masing atom karbon dan hidrogen membentuk karbon dioksida (CO2) maupun air (H2O).
Dikenal ada dua jenis heating value yang umum digunakan secara luas, yakni higher heating value (HHV) serta lower heating value (LHV). Keduanya memiliki acuan dan metode perhitungan yang sedikit berbeda. Satu hal yang menjadi acuan di sini adalah adanya kandungan air yang dapat dipastikan akan selalu hadir pada setiap reaksi pembakaran hidrokarbon. setiap reaksi pembakaran hidrokarbon pasti akan diikuti oleh adanya pembentukan karbon dioksida dan air. Sedangkan panas yang dihasilkan pada proses pembakaran tersebut ada sebagian kecil yang diserap oleh air sehingga ia berubah fase menjadi uap, dan sejumlah energi tersimpan sebagai panas laten. Pada sebagian proses pembakaran yang terjadi ada kemungkinan dimana uap air tersebut terkondensasi sehingga energi panas laten di dalam uap air tersebut terlepas kembali ke sistem pembakaran. Heating value yang memperhitungkan terlepasnya kembali panas laten uap air tersebut, biasa kita kenal sebagai Higher Heating Value. Sedangkan Lower Heating Value tidak memasukkan energi panas laten yang dilepaskan oleh terkondensasinya uap air tersebut ke dalam nilai heating value. Dengan kata lain, HHV mengasumsikan bahwa uap air hasil proses pembakaran akan terkondensasi dan melepaskan panas latennya di akhir proses, sedangkan LHV mengasumsikan bahwa uap air akan tetap sebagai uap air hingga akhir proses pembakaran.
Nilai HHV dan LHV akan memiliki selisih nilai. Selisih tersebut bergantung pada komposisi kimia dari bahan bakar. Pada karbon ataupun karbon monoksida murni nilai HHV dan LHV memiliki nilai yang hampir sama persis. Hal ini disebabkan karena karbon dan karbon monoksida murni tidak mengandung atom hidrogen pada molekulnya, sehingga -secara teoritis- tidak akan terbentuk molekul air di akhir proses pembakaran. Sebaliknya pada bahan bakar hidrogen, yang pasti akan terbentuk molekul air di akhir proses pembakarannya, nilai HHV hidrogen lebih besar 18,2% dari nilai LHV-nya. Nilai HHV tersebut termasuk juga mengukur panas sensibel uap air pada temperatur 150°C hingga 100°C, panas laten air pada temperatur 100°C, serta panas sensibel air dari temperatur 100°C hingga 25°C.
Teori dasar yang perlu diingat kembali yaitu fase perubahan zat cair menjadi gas, secara garis besar sifat yang dimiliki fluida (air khususnya) mempunyai sifat alami yaitu semakin tinggi suhu/temperature nya maka berbanding lurus dengan tekanan yang dihasilkannya. Selain itu Air mendidih pada temperatur 100º Celcius jika dalam kondisi tekanan atmosfer (1013,25 milibar absolut). Apabila air dipanaskan di bawah kondisi tekanan yang lebih tinggi maka titik didihnya juga akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, pada tekanan yang lebih rendah air akan mendidih pada temperatur yang lebih rendah. Sifat alami inilah yang menjadi dasar ilmuan untuk mengembangkan pemanfaatan air sebagai media pengubah energi kimia menjadi energi kinetik. Berikut penjelasan lebih lanjut untuk perubahan fase steam.
     Untuk menciptakan uap air kering dengan temperatur tinggi, panas harus terus diberikan ke air melewati tiga fase: fase cair, fase campuran cair dengan uap dan fase uap. Berbagai sifat fisik maupun kimia dari suatu material akan berubah sesuai dengan perubahan temperaturnya. Hal ini tidak terkecuali dengan air, air mengalami berbagai perubahan karakteristik yang bahkan lebih besar perubahannya dibandingkan dengan material-material lain. Berbagai sifat anomali air adalah disebabkan oleh kuatnya ikatan antar atom hidrogen air. Pada kondisi temperatur superheater ikatan-ikatan hidrogen tersebut akan putus dan memberikan perubahan signifikan atas sifat-sifat kimia air. Berikut adalah perubahan-perubahan sifat fisika maupun kimia air pada kondisi liquid superheated:
·         Viskositas atau derajat kekentalan setiap fluida termasuk air akan selalu turun nilainya seiring dengan kenaikan temperatur. Hal ini disebabkan karena jika temperatur naik, setiap molekul fluida akan bergerak lebih cepat, sehingga interaksi antar molekul fluida tersebut akan lebih pendek waktunya. Jika interaksi antar molekul terjadi secara cepat, tegangan antar molekul pun akan lebih rendah. Dan jika tegangan antar molekul rendah, nilai viskositas fluida juga akan turun.
·         Difusifitas adalah sebuah satuan yang menunjukan ukuran kemampuan molekul-molekul ataupun energi pada sebuah meterial untuk berpindah secara difusi, yang ditunjukkan dengan konduktifitas termal dibagi dengan kapasitas termal spesifik dan massa jenis. Difusifitas air dan juga material lain sangat dipengaruhi oleh temperatur, dimana semakin tinggi temperatur sebuah material maka akan semakin tinggi pula nilai difusifitasnya.
·         Kapasitas Kalor Spesifik adalah jumlah energi panas yang dibutuhkan sebuah benda untuk merubah temperaturnya. Kapasitas kalor spesifik adalah kapasitas kalor per satu satuan massa. Kapasitas kalor air berubah seiring dengan perubahan temperatur yang terjadi. Pada tekanan konstan, kapasitas kalor spesifik air naik apabila temperatur air naik.
·         Ionisasi Air pada kondisi superheated, air semakin mudah untuk mengalami ionisasi sendiri (self ionization). Pada temperatur tinggi ini air akan dengan mudah terionisasi membentuk H3O+ dan OH. Terbentuknya dua ion tersebut ditandai dengan turunnya nilai pH air sekalipun sifat air yang masih netral karena jumlah yang sama antara ion positif dengan negatif.
·         Solubility Air yang berada dalam kondisi superheater akan memudahkan senyawa-senyawa organik maupun anorganik untuk larut ke air. Hal ini disebabkan karena temperatur air yang sangat tinggi akan membuat senyawa-senyawa tersebut menjadi bersifat polar, sehingga akan menjadi mudah larut ke air. Bahkan senyawa-senyawa organik yang sifatnya tidak mudah larut akan menjadi mudah larut jika bertemu dengan air superheater.
·         Korosifitas Air superheater yang terionisasi pada temperatur tinggi akan menghasilkan ion OH yang bersifat korosif. Apalagi jika kandungan oksigen terlarut di dalam air berada dalam jumlah yang besar, maka air tersebut akan semakin bersifat korosif. Sifat korosif air superheater tidak selalu berdampak negatif pada boiler misalnya, jika kondisi air dikontrol dengan baik maka terbentuknya lapisan magnetit sebagai hasil oksidasi air terhadap logam pipa boiler, pada permukaan kontak pipa boiler dengan air justru akan berfungsi untuk mencegah korosi yang lebih parah.
·         Kebutuhan Energi Energi yang dibutuhkan untuk membentuk air superheater lebih rendah dari pada membentuk uap air. Sebagai ilustrasi mari kita perhatikan tabel properti uap air atau bisa juga menggunakan table steam. Untuk membentuk uap air dari air bertemperatur 25oC ke uap air 250oC pada 1atm membutuhkan 2869 kJ/kg. Sedangkan untuk membentuk air superheater bertemperatur 250oC dari air bertemperatur 25oC dan tekanan 50 bar hanya membutuhkan energi panas sebesar 976 kJ/kg.
Nilai energi panas di tiap-tiap nilai tekanan dan temperatur sudah dibuat oleh para ahli dan telah disusun menjadi tabel uap air (steam tables). Dengan menggunakan steam table ini kita dapat menentukan entalpi spesifik (jumlah energi panas yang dimiliki oleh uap air pada tiap kilogram nya), entropi spesifik (bilangan abstrak yang menunjukkan peningkatan atau penurunan dari panas yang diberikan atau ditolak pada suatu benda), dan volume spesifiknya. Berikut contoh table steam (Tabel lengkap pada lampiran)

Table Steam
Apabila kita memberikan energi panas ke air, maka hal ini disebut “entalpi spesifik dari saturasi cair (the spesific enthalpy of the saturated liquid)”, yang kita lebih mengenalnya dengan istilah panas sensibel. Jika kita terus menambahkan panas, temperatur akan terus naik (pada tekanan tertentu), dan apabila diteruskan temperatur akan berhenti naik dan air akan mulai menguap. Nilai entalpi pada titik ini ditunjukkan di steam table dengan simbol “hf”.
Jika panas terus ditambahkan, air akan terus menguap, sampai semua air berubah fase menjadi uap air. Nilai energi panas pada proses ini dinamakan “kenaikan entalpi pada proses evaporasi (the increment of enthalpy for evaporation)”, kita mengenalnya dengan istilah panas laten. Nilai dari entalpi ini ditunjukkan dengan simbol “hfg” pada steam table. Pada titik ini berarti kita telah memberikan energi panas melalui dua fase, nilainya dinamakan “entalpi spesifik pada uap saturasi (the spesific enthalpy of the saturated vapour)” dan ditunjukkan pada steam table dengan simbol “hg”. Maka hf + hfg = hg dalam satuan kJ/kg.
Kita dapat memanaskan uap air ini lebih lanjut, Proses ini dinamakan superheat dan nilai panasnya dinamakan “kenaikan entalpi pada superheat (the increment of enthalpy for superheat)”. Pada uap air superheat di titik manapun proses, entalpi spesifiknya sama dengan kenaikan entalpi pada saturated liquid ditambah kenaikan entalpi pada proses evaporasi dan kenaikan entalpi uap superheat pada titik tersebut. Entalpi total dari titik superheat ini ada di steam table. Lebih lanjut Diagram temperatur-entropi (T-S Diagram) digunakan untuk lebih mudah memahami proses titik mendidihnya air dan titik saturasi keringnya. Entropi merupakan sebuah properti yang sulit untuk dijelaskan. Uap air yang memiliki energi rendah berarti memiliki entropi yang rendah pula. Jika temperatur absolut pada saat panas diberikan, dikalikan dengan perubahan entropi, maka hasilnya adalah sama dengan jumlah energi panas yang ditambahkan selama proses. Sebaliknya, jika temperatur absolut pada saat panas ditolak, dikalikan dengan perubahan entropi antara awal proses dengan akhir proses, hasilnya sama dengan jumlah energi yang ditolak.
Bentuk dari kurva air menguap/saturasi kering saat pressure yang disertakan lebih tinggi, maka entalpi yang dibutuhkan untuk evaporasi lebih rendah. Saat kita memberikan energi panas selama proses evaporasi, uap air basah akan bertahap mengering sampai ia mencapai titik saturasinya. Hal ini berarti ia mencapai 100% kering. Jika kita menaikkan tekanan air, kita akan menaikkan temperatur didih airnya, dan pada diagram T-S akan menaikkan garis proses lebih tinggi. Dengan melakukan hal ini, berarti kita lebih memendekkan garis evaporasi sampai kita mencapai titik sekitar 221,2 bar abs dimana garis air mendidih bertemu dengan garis saturasi kering dan dan tidak ada fase evaporasi lagi sama sekali. Inilah yang dinamakan critical point. Temperaturnya pada 374,15ºC, dan critical volumenya 3,17 dm3/kg. Pada pressure lebih tinggi dari 221,2 bar abs dinamakan supercritical.

Grafik entropy (T-S)

            Air pada kondisi supercritical pressure dipanaskan, temperatur air akan naik sampai ia akan mengalami “flashes”, yaitu kondisi dimana air secara instan berubah menjadi uap dan mulai menjadi uap superheated. Spesific volume uap kering sama tidak ada perbedaan dengan spesific volume air, untuk temperatur kapan air mulai “flushing” pada supercritical pressure tidak dapat diketahui secara pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar